Minggu, 27 Juli 2008

Sabtu, 28 Juni 2008

Aku, Syuro dan Tarbiyah

Tidak terasa sudah dua setengah tahun lebih saya berada di dunia tarbiyah. Banyak sekali hal baru yang saya dapatkan. Memasuki masa-masa, di mana Islam bukanlah sebagai agama formalitas saja, tetapi benar-benar mendasari setiap aktivitas petunjuk dalam kehidupan. Perlahan tapi pasti, tarbiyah mengajarkan kepada saya begaimana berjihad dalam menjalani kehidupan. Sistem usrah (liqo’) yang merupakan salah satu perangkatnya, tidak lagi menjadi suatu perintah saja, tetapi sudah menjadi suatu kebutuhan di mana apabila saya tidak melakukannya, ada sesuatu yang hilang dalam diri saya.
Tiadalah berarti sebuah ilmu apabila tidak aplikasi dalam amal. Rukun bai’ah yang ketiga setelah Al Fahm adalah Al Amal yang diawali sebelumnya oleh suatu keikhlasan dari sebuah pemahaman. Itulah salah satu pemahaman yang saya dapatkan di tarbiyah. Sehingga setelah kurang lebih satu semester saya diberi pemahaman dalam halaqoh, langsung ditantang untuk bergerak dalam ladang amal di DKM (Dewan Kegiatan Mushola) SMA dan itu berlanjut hingga saya berada di dakwah kampus. Peran Murobhi sangatlah penting di sini. Ia senantiasa memberikan arahan sekaligus bimbingan dan juga sebagai media curhat untuk menumpahkan permasalahan yang dihadapi. Tak heran bila murobhi bagi saya (dan memang semestinya) memiliki peran ganda. Ia sebagai syekh yang membimbing ruhiyah kita, ia sebagai guru yang memberikan ilmunya senantiasa, ia sebagai orang tua yang membimbing dan mengingatkan kita, dan ia juga sebagai teman yang siap mendengarkan segala keluh kesah kita untuk diberi solusi.
Di dalam halaqoh, juga menjadi tempat di mana ide-ide dalam bergerak itu muncul. Ide-ide itu tertuang dalam syuro kecil-kecilan yang ada di halaqoh. Dari syuro kecil-kecilan, kemudian disampaikan pada syuro besar pada aplikasi di lapangan. Syuro, juga menjadi salah satu hal yang penting juga dalam tarbiyah ini. Bagi saya, tidak ada tanzdhim bila tidak adanya syuro. Syuro membuat barisan kita lebih teratur dan tertata, sekaligus melatih ketaatan kita akan sebuah keputusan yang diputuskan oleh jamaah. Allah Swt berfirman dalam surat Quran Surat Al-Imran : 159. ”dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu....” Sebagaimana Rasulullah Saw juga melakukan syuro dengan para sahabat ketika mengambil sebuah keputusan.
Ustadz Anis Matta mengatakan bahwa fungsi syuro sesungguhnya adalah mewadahi keragaman sebagai sumber kreatifitas dan keunggulan kolektif. Keikhlasan, pertanggungjawaban dan kelapangan dada setiap peserta syuro adalah penyeimbang yang optimal antara kebebasan berekspresi dengan penerimaan yang wajar apa adanya. Terutama sebagai orang yang tertarbiyah, ketaatan pada hasil keputusan syuro merupakan sebuah kewajiban yang harus dipenuhi dan direalisasikan.
Akan tetapi banyak sekali warna-warni yang saya alami dalam syuro ini di sepanjang perjalanan dakwah. Lucunya, terkadang setelah syuro, muncul problematika baru yang harus dipikirkan kembali dan dicari solusinya. Itu menjadi sebuah tarbiyah bagi saya, yang melatih kecekatan kita dalam mengambil sebuah keputusan dan juga menguji kematangan dakwah dan tarbawi. Karena ketidaksetujuan yang dilandasi dengan egoisme dapat menimbulkan suatu pertanyaan bagi kita: Apakah kita matang secara tarbawi atau tidak? (Anis Matta)